‘Wacky Wednesday’ used-to-be. Not Anymore.

RABU.

As known as hari yang paling bikin capek dalam seminggu (buat saya lho)
Why? Karena setiap Rabu, saya ninggalin rumah jam 06:30 pagi, dan baru bisa pulang (paling cepat) jam 10 malam. Perjalanan pulang-pergi ditempuh dengan naik-turun angkot dan ojek, masing-masing 1,5 jam (dan bagi elo semua penghuni Jakarta yang menjalani rutinitas serupa, pasti setuju banget bahwasanya kalo sampe elo menemukan satuuu aja penumpang angkot dengan aroma Kenzo eau de toilette, itu anugerah tak terhingga. Dan kalau elo menemukan tukang ojek yang menebarkan harum Bvlgari, itu mukjizat luar biasa. Kenapa gue bilang mukjizat? Karena kalo sampe ada tukang ojek yang bisa beli Bvlgari, ngapain juga dia jadi tukang ojek??)

Anyways, cukup ‘elo-gue’-nya. Balik ke topik awal, hari Rabu adalah hari yang super panjang buat gue… eh, saya. Dan tanggal 8 kemarin, enggak beda dari Rabu-Rabu lainnya. Saya menabahkan hati duduk manis di dalam angkot, sambil berdoa supaya terjadi keajaiban. Siapa tahu hari itu saya akan mendapat angkot yang supirnya tidak suka ngetem, bersedia jalan walau penumpangnya cuma satu, tidak perlu berhimpit-himpit ria, bisa duduk di sebelah penumpang dengan aroma Gatsby (saya cukup tahu diri untuk tidak mengharapkan Kenzo lagi), dan 1001 harapan muluk lainnya. Saya sedang merapatkan badan ke pintu angkot sambil menghela nafas dalam-dalam, ketika seorang wanita tua masuk dan duduk di depan saya. Usianya sekitar enampuluhan. Ia tidak membawa apa-apa – tangan rentanya hanya menggenggam dompet mungil berwarna merah. Saya memperhatikannya selama beberapa detik. Ketika melihat ke bawah, saya tertegun.

Ia memakai sandal jepit Swallow wana hijau pudar. Saya memakai Pianella.

Ia menggenggam dompet usang berlogo toko emas. Saya menyimpan uang dalam Hush Puppies.

Ia memakai blus yang amat sederhana, dan kerudung seadanya (bukan jilbab, hanya sebuah scarf tua yang diikat di bawah dagu). Saya mengenakan kemeja berlapis cardigan, dan menenteng handbag dengan Nokia seri 7 di dalamnya.

Wajahnya dipenuhi bintil, kerut, dan noda. Saya menghabiskan puluhan ribu demi sebotol facial wash.

Ia menarik dua lembar seribuan dari dalam dompet, meluruskan, serta melipatnya dengan hati-hati. Saya bahkan tidak tahu berapa persisnya jumlah seribuan dalam dompet saya.

Sorot matanya menyiratkan ketegaran, kekuatan, serta keihklasan menjalani hidup yang jelas-jelas tidak mudah. Saya mengeluh dan berberat hati menempuh perjalanan selama 1,5 jam dengan angkot.

Saya tergugu dalam hening.

Mendadak saya malu karena sudah begitu cengeng.
Mendadak saya risih dengan keluhan-keluhan saya sepanjang pagi.
Mendadak, 1,5 jam tidak lagi terasa hambar, dan naik angkot tidak lagi terasa berat.
Mendadak saya tahu makna rasa syukur yang sesungguhnya.

Rabu itu sama seperti Rabu-Rabu sebelumnya. Saya meninggalkan rumah jam 06: 30 pagi, dan baru kembali jam 22:30. Menempuh perjalanan dengan angkot dan ojek – tanpa harum Gatsby, apalagi Kenzo eau de toilette.

Tetapi ada satu yang berbeda.

Tubuh saya memang capek luar biasa, namun hati saya tidak lagi lelah.

Terima kasih, Nenek.

-Awal November 2006-

Hidup = Bulet?

Kata orang, hidup itu kayak bola. Terus bergulir. Ada juga yang bilang, hidup itu mirip roda. Kadang di atas, kadang di bawah. Yang saya bingung ya, kenapa hidup selalu identik dengan BULET? Mau roda, mau bola, dua-duanya bulet. Menggelinding, tanpa akhir.
Kalo kata saya mah, hidup itu kayak tangga. Di ujung atas ada tujuan yang bisa diraih, dan untuk mencapainya cuma butuh keputusan dan tindakan. Seberapa cepet sampai di atas, tergantung pilihan kita. Dan saya juga percaya, Yang Di Atas pengen kita punya kehidupan seperti itu: naik, dan terus naik.
Maka, berusahalah. Jangan pernah menyerah. Jangan pernah berhenti bermimpi. Jangan pernah lelah untuk percaya. Biarpun keliatannya sukar dan lambat, kalau kita terus mendaki tanpa kenal lelah, kita PASTI bisa sampai di atas (lagian dimana-mana juga, yang namanya naik tangga itu pasti bikin capek – kecuali kamu naik elevator. Percayalah, saya juga ingin punya elevator. Tapi dalam hidup ini, bukan begitu aturan mainnya.

Selamat mendaki. Satu pesan saya, kalau udah sampai di atas, jangan lupa sama yang masih di bawah, ya 🙂

– 6 November 2006, kala merenung dalam sunyi –

Untuknya Yang Telah Pergi…

Ini bukan karangan indah. Hanya secuplik kisah nyata, disertai permohonan maaf untuk seseorang yang pernah begitu berjasa – yang tak pernah sempat saya ucapkan kepadanya.

8 atau 9 tahun yang lalu, ketika saya masih duduk di bangku SMP, kami diajar oleh guru matematika bernama Pak Harefa. Usianya masih terbilang muda, 28 tahun. Pak Harefa amat sabar dalam mendidik murid-muridnya. Beliau senantiasa mengajar dengan detail, bersedia mengulang penjelasan tanpa mengkritik, selalu memberi tambahan waktu ketika ulangan, dan tidak pernah marah/menghukum. Namun di mata kami, semua itu bukanlah wujud kemuliaan hati, melainkan sikap lembek dan ‘tidak berdaya’ yang menyebabkan kami tidak segan-segan berlaku tidak hormat kepadanya. Kami mengobrol dan bercanda dengan bebas ketika beliau mengajar. Kami bersikap sesuka hati. Kami bahkan makan di dalam kelas. Salah satu perbuatan favorit kami (termasuk SAYA) adalah mengajukan pertanyaan kepada beliau dengan mulut mengunyah makanan secara terang-terangan. Dan Pak Harefa selalu bersedia menjelaskan!
Kalau dipikir sekarang, rasanya tindakan kami itu betul-betul sudah di luar batas. Tetapi ketika melakukannya 9 tahun yang lalu, yang ada hanyalah rasa bangga. Bangga karena berani ‘melawan’ seorang guru. Senang karena berhasil melampiaskan rasa sebal akibat ‘penindasan’ guru-guru killer yang lain. Dan saya pun, dengan tega melibas hati nurani demi melakukan hal yang sama.
Siang itu, Pak Harefa tidak hadir. Bukannya bertanya-tanya, kami sekelas malah bersuka ria menikmati jam kosong. Sampai Kepala Sekolah masuk, dan memberi pengumuman. Pak Harefa telah meninggal dunia.
Beliau mengalami serangan jantung dalam angkutan umum yang ditumpanginya pada perjalanan menuju sekolah, dan meninggal di tempat yang sama. Tanpa penolong, tanpa ada yang menemani. Bahkan dompetnya raib dicuri orang.
Saya terhenyak. Seluruh murid membisu. Hari itu, kami menangis dan tercenung.
Sampai hari ini, saya masih tercenung.
Seandainya dulu saya bicara dengan sopan kepada Pak Harefa.
Seandainya dulu saya tidak bersenda gurau dengan suara keras saat beliau mengajar.
Seandainya dulu saya tidak bertanya sambil mengunyah permen di depannya.
Seandainya dulu saya bersedia menilik nurani dengan kebijakan dan rasa hormat… tentunya saya tidak perlu melukai hati mulia seorang guru yang telah begitu telaten mendidik murid-muridnya.

Maafkan kami, Pak Harefa.

Simple Thanks

Setelah sekian lama, akhirnya saya punya blog juga. Online journal yang ‘beneran’. Walau belum jadi siapa-siapa, dan mungkin tak ada yang kenal, izinkan saya menuturkan
terima kasih sebesar-besarnya kepada orang-orang luar biasa yang telah memainkan peranan terpenting dalam hidup saya…

First off, Ayahanda tercinta, L. Jimmy Jusuf. You’re the best, Dad. I’m at lost of words of thanking you. Terima kasih buat cinta tak bersyarat yang selalu ada.
‘Orangtua rohani’ sekaligus Gembala saya tercinta, Steven & Elly Agustinus. Terima kasih banyak. Kasih yang senantiasa kalian pancarkan adalah pelita yang selalu menuntun saya untuk pulang ke rumah. Terima kasih karena telah mengajarkan tentang pentingnya memaknai kehidupan, lewat bahasa yang tak selalu verbal.
Sahabat-sahabat tercinta, tempat saya bersandar dan memberikan sandaran: Vera, Karin, Au-au, Itin, Icqa, Lisa, Mira & Lala. Terima kasih untuk persahabatan terindah yang takkan mungkin saya temukan di tempat lain.
My inspiring authors, Sitta Karina & Prima Rusdi. Thank you so much for always being an inspiration… you guys are amazing!

… Terima kasih sebesar-besarnya untuk Juruselamat dan Sahabat tercinta, my Beloved Savior Jesus Christ. I once was lost, but now I’m found. Was blind, but now I see.