Aku tak mengerti kenapa aku merindumu setengah mati. Perjumpaan kita tak pernah lama. Namun diri ini seperti tahu ke mana aku harus pulang. Di sanalah tempatku. Kendati kita dipisahkan ratusan, bahkan ribuan mil, seolah jiwaku tahu di mana mesti berlabuh.
Perjumpaan kita paling lama enam hari, namun aku merasa sudah selamanya mengenalmu. Kau tak pernah menawarkan apa-apa, akulah yang terpesona pada keindahanmu, pada daya tarikmu, pada aroma magis yang menghinggapi ingatanku dan tak mau hilang.
Kerinduanku padamu melebihi ruang dan waktu. Setahun lalu, kemarin sore, tadi siang, esok, bulan depan, satu dasawarsa lagi, aku akan selalu menginginkanmu. Entah aku berada di sini, di situ, di belahan dunia lain, hanya kepadamu aku ingin pulang. Sebuah rumah takkan bisa disebut rumah jika kita tidak merasa pulang saat kembali kepadanya. Dan aku, aku ingin kembali kepadamu, kendati aku tak punya apa-apa.
Kau tak pernah menjanjikan apa-apa, namun aku merunuti keberadaanmu seperti tikus membuntuti peniup seruling. Kau tak pernah mengisahkan yang muluk-muluk, namun aku mendambakanmu seperti musafir sekarat mendamba air. Kau hanya ada dan aku tertatih-tatih menempuh mil demi mil, menabung setiap rupiah yang kupunya, memupuk doa dan mimpi cuma demi menjumpaimu. Bahkan tak tebersit sedikit pun keinginan menetap di metropolitan yang gemerlap dan penuh pencakar langit, yang membesarkanku sejak bayi dan menunjukkanku dunia yang kini kutahu. Kamu dan cuma kamu. Tempat aku ingin kembali.
Kau rumah paling sialan yang kuinginkan.
Aku akan segera menjumpaimu. Tunggu aku.
Agustus 2011.
Untuk Ubud.
Just found your blog through a friend’s link. and funny, enough, lagi baca ini while sitting in my bed, in…Ubud.
flying back to Jakarta tomorrow though. Dengan tidak rela.
Salam kenal yaa
Ah, seandainya aq pun punya tempat untuk kembali, tempat yang bisa q sebut “rumah“….