Dua petani bekerja bersisian. Lengan-lengan mereka yang tersaput butiran garam laut berkilau ditimpa cahaya mentari. Keduanya bekerja dengan cepat dan cekatan, tak punya waktu untuk menikmati keindahan yang ditawarkan laut dan gunung terbentang.
Petani berikatkepala, yang rupanya perempuan, berhenti untuk meluruskan punggung. Keranjangnya penuh terisi rumput laut berjuntai-juntai. Tanaman yang bakal jadi penganan enak di restoran Jepang, hotel bintang lima, atau dijual di supermarket dalam kemasan cantik, baginya tak lebih dari sumber mata pencaharian yang menghasilkan uang tak seberapa.
Petani satunya, lelaki muda yang otot-ototnya masih liat, ikut berhenti bekerja. Keranjangnya hampir luber. Menoleh ia ke sang ibu, yang kemudian dihampirinya sambil memanggul hasil panen hari itu.
Mereka bercakap sejenak, sebelum si lelaki memindahkan beban berat ke pundaknya. Tak tanggung-tanggung, dua pikul sekaligus. Dengan gagah dipanggulnya ikat-ikat rumput laut sambil berjalan tegap seolah memamerkan, “Lihat, Ibu, tak sedikit pun aku oleng.”
Sang ibu tersenyum tipis. Pandangannya tak luput mengikuti gerakan gesit putranya. Dalam diam matanya berbinar, seolah ingin berujar,
“Mudah-mudahan nasibmu kelak lebih baik, Nak. Biar punggungku saja yang habis ditempa matahari dan digerus angin, sebab jalanmu masih panjang dan usiamu masih terlalu banyak untuk dihabiskan di tempat ini.”
keren banget tulisannya . bikin merinding dan nyaris meneteskan air mata baca quote terakhirnya hehe
Nyaris nangis, ada kekagetan baca quote terakhir. Untung cuma sampai disitu, kalau lanjut pasti luber ini air mata.