Tentang Sebuah Perjalanan

Perjalanan itu dimulai di sebuah pagi yang mendung. Jatah tidur yang didiskon lebih dari separuh, dahaga di kerongkongan, kereta yang terlambat, dan jubelan orang di stasiun nyaris membuat saya naik darah.

Ular besi yang ditunggu-tunggu tiba. Setengah berlari saya memanggul tas berisi pakaian sambil mencari gerbong. Tak sampai 10 menit, tas sudah tersimpan rapi di rak. Saya menghempaskan tubuh di kursi dan melepaskan sepatu.

Limabelas menit dari jadwal keberangkatan yang semestinya, kereta mulai bergerak. Saya menyingkirkan tirai merah jambu yang menghalangi pemandangan. Mendadak, saya malu karena hampir kehilangan kesabaran.

Saya acap mengeluh karena air PAM di kos-kosan kadang berwarna kecoklatan, sementara tak jauh dari rel kereta api Manggarai ratusan orang tinggal di ‘rumah’ yang terbuat dari kayu dan terpal.

Saya kerap menggerutu karena AC tua di kamar tak mengeluarkan hawa dingin, sementara di bawah jembatan ada orang-orang yang tidur hanya berlapis selembar sarung.

Saya sering mengasihani diri sendiri karena tak bisa pindah ke sebuah apartemen di pusat kota, sementara di bantaran Kali Code ribuan orang menggantungkan hidup dan harapan dalam udara yang pengap dan kotor.

Saya mengira saya memahami cinta dan segala permainan yang menyertainya, namun cinta sesungguhnya adalah sepasang kakek-nenek yang duduk berhadapan di pinggir jalan kota ini, di atas aspal yang dilapisi selembar tikar. Bermain catur tanpa kata.

Di kota ini masih berdiri rumah-rumah dengan jendela kayu tanpa kaca yang tak gentar menantang zaman, sementara di metropolitan gedung-gedung bertingkat telah menggusur wajah asli ibukota dan menyebabkan warganya terendam banjir.

Di kota ini ada bocah pengamen yang lantang bernyanyi ‘Aku Si Gembala Sapi’. Matanya menyipit malu ketika sadar sedang diperhatikan. Kulitnya legam, tubuhnya kurus, namun dendang dan geraknya penuh semangat.

Di kota ini ada suara roda becak yang beradu dengan aspal, lampu warna-warni permainan anak-anak di Alun-alun, dendang campursari dengan tabuhan gendang, sate empuk yang dibakar dengan jeruji sepeda, nasi kucing seribu rupiah, kuah soto yang dihirup panas-panas di warung pinggir jalan, derai tawamu, gurauan kita, obrolan tak putus-putus yang diselingi rintik hujan.

Dan barangkali itulah sebabnya saya amat mencintai perjalanan. Karena perjalanan—ke manapun ia membawa kaki-kaki ini—tak pernah alpa mengingatkan bahwa saya tidak butuh banyak untuk bahagia.

~ Jogjakarta, 5-10 Mei 2011 ~

3 Replies to “Tentang Sebuah Perjalanan”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *